aku cinta Indonesia-Garuda di dadaku

Selasa, 04 Januari 2011

Menjaga Eksistensi Tiga Alat Negara

KETIGANYA alat negara. Demikianlah mestinya cara kita melihat, memposisikan dan memaknai eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK). Karena statusnya yang alat negara itu, Polri, Kejagung dan KPK adalah juga alat rakyat. Itu Hakikat. Maka, siapa pun dan sebesar apa pun kekuatan yang coba meruntuhkan tiga alat rakyat itu, mereka harus berhadapan dengan DPR.

Seperti itulah posisi Komisi III DPR RI ketika menyelenggarakan rapat kerja dengan pimpinan KPKserta Polri, yang akan dilanjutkan pekan ini dengan Kejagung. Fokus komisi III DPR adalah menjaga sekaligus memulihkan eksistensi dan citra tiga alat rakyat itu, bukan memihak, apalagi melawan suara pemberi amanat, rakyat. Menghadapi friksi terkini di antara ketiga alat rakyat itu, menjadi keharusan bagi kami sebagai wakil rakyat di DPR untuk mengambil posisi independen, dan tetapi mengayomi ketiganya.

Dalam rangkaian rapat kerja itu, kami otomatis harus memberi kesempatan dan peluang yang sama kepada tiga alat rakyat itu untuk menjelaskan posisinya masing-masing, terutama dalam friksi ketiganya. Sebaliknya, Komisi III DPR pun wajib mengorek semua informas yang diperlukan, terutama agar semua anggota komisi dan masyarakat lebih memahami masalahnya dengan komprehensif, tidak sepotong-sepotong atau parsial, dan juga agar DPR bisa membuat kesimpulan akurat dan benar.

Selain itu, setelah Raker dengan masing-masing institusi itu, Komisi III DPR pun berencana mempertemukan pimpinan ketiga alat rakyat itu dalam satu forum. Dengan langkah ini, DPR bersama ketiga institusi itu diharapkan bisa meletakan persoalan secara proporsional dan obyektif. Dan, dari situ, masyarakat bisa mendapat pemahaman yang lebih utuh, sekaligus mengakhiri dugaan-dugaan atau tafsir-tafsir.

Seperti halnya kesempatan yang diberikan kepada KPK, Raker Komisi III DPR-Polri pun memberi waktu kepada Kapolri dan jajarannya untuk memaparkan posisi institusi dalam friksinya dengan KPK. Tidak adil jika Komisi III DPR tidak memberi kesempatan kepada Polri. Sebaliknya, DPR dan juga semua elemen masyarakat bisa menyimak, bahkan merekam, semua penjelasan Polri. Katakanlah sebagai pembanding dengan apa yang diketahui, didengar atau diasumsikan. Setelah itu, silahkan masing-masing menilai apakah penjelasan itu benar atau salah, tentu saja menurut persepsi masing-masing. Ditengah suasana yang begitu tidak kondusif saat itu, Komisi III DPR dengan kesadaran penuh tidak berniat menghakimi baik Polri, KPK maupun Kejagung.

Kendati demikian, kalau disimak dengan rinci, anggota Komisi III DPR sesungguhnya sangat kritis terhadap Polri. Ada pertanyaan dari anggota komisi yang mestinya sangat memojokan Polri, khususnya Komisaris Jenderal Susno Duadji. Kepadanya ditanyakan begini; meski sudah tahu Anggoro ada dalam daftar pencarian Orang (DPO) KPK, mengapa Susno tetap pergi menemui Anggoro di Singapura? Lalu, setelah bertemu Anggoro di Kedutaan Besar RI di Singapura, mengapa Susno tidak langsung menangkap Anggoro. Sebab, bukankah areal kedutaan kita sebagai wilayah hukum Indonesia? Selain itu, ada juga anggota komisi yang meneruskan pertanyaan publik tentang perubahan pasal-pasal yang dituduhkan kepada Bibit dan Chandra.

Bahwa forum Raker itu dimanfaatkan Polri untuk berusaha meraih simpati dari publik, itu Hak Kapolri dan jajarannya. Dan, menurut kami, tidak ada yang salah jika Kapolri berusaha habis-habisan memanfaatkan forum Raker untuk curhat. Apakah publik bersimpati atau tidak, biarlah masing-masing orang menentukan sikapnya. Tetapi ada satu kesimpulan yang bisa dipastikan, yakni DPR tidak menempatkan Polri sebagai pihak yang paling benar, karena memang bukan itu wewenang DPR.

Kita dan publik pun tahu bahwa Kapolri serta jajarannya masuk ruang sidang Komisi dengan suasana hati yang runyam. Sementara DPR berkepentingan agar seluruh jajaran Polri di lapangan tetap siaga menjalankan tugas rutin mereka dan tidak mengalami demoralisasi akibat tekanan opini publik

Tolak Kriminalisasi

Tidak pada tempatnya jika DPR dipaksa mengikuti atau hanyut dalam arus kriminalisasi terhadap alat-alat negara/rakyat yang mengemban tugas penegakan hukum. Bahwa DPR harus merespons aspirasi yang berkembang ditengah masyarakat, itu merupakan keharusan dan kepastian. Tetapi, tetap saja DPR tidak boleh menggunakan kaca mata kuda. Asal tabrak sana tabrak sini. Mengapa? Agar suasana tidak bertambah keruh. Agar masalahnya tidak tereskalasi dan agar kita bisa memulihkan kepastian hukum. DPR harus berpikir jernih karena prioritasnya adalah mengurai dan menjernihkan masalah, serta ikut menyelesaikan masalah. Bukan menjadi faktor penambah masalah.

Jadi, DPR tidak pernah melawan suara rakyat. Bagaimana mungkin kami melawan pemberi amanah kepada kami. Di forum apa pun, termasuk dalam raker dengan Kapolri, sikap DPR jelas dan tegas; menolak kriminalisasi terhadap Polri, Kejagung dan KPK. Karena itu, DPR sedang menggelar perang melawan sejumlah orang dan kelompok yang saat ini terus memroses kriminalisasi terhadap KPK, Polri dan juga Kejagung..

Dalam rapat kerja dengan KPK, Komisi III DPR sudah tegas-tegas menyatakan menolak kriminalisasi terhadap KPK. Sikap yang sama juga ditegaskan dalam Hal serupa jg kami tegaskan dalam Raker dengan Kapolri. DPR akan melawan kekuatan apa pun yang coba mengriminalisasi Polri. Pendirian serupa juga untuk Kejagung. Pada raker dengan Kejagung, Senin (9/11), Komisi III DPR memberi jaminan perlindungan dari upaya kriminalisasi.terhadap Kejagung. Intinya, para koruptor, termasuk penikmat mega skandal Bank Century tak boleh menjadi pemenang. Untuk tujuan besar yang satu ini, Komisi III DPR siap mengambil risiko apa pun.

Karenanya, DPR mendorong semua institusi penegak hukum untuk kembali menyatukan barisan, serta bersama-sama melawan upaya memecah belah oleh pihak manapun. Hakikatnya, ketiga institusi itu sama pentingnya, dan karena harus saling menunjang dalam program penegakan hukum dan pemberantasan korupsi serta membrangus mafia pengadilan.

Jangan lagi ketiga institusi itu dikotak-kotakan, agar mereka bisa fokus memburu para koruptor. Untuk itulah Komisi III DPR merasa perlu segera menghadirkan KPK, Polri dan Kejaksaan secara bersamaan untuk menyelesaikan perseteruan di antara mereka serta mempersatukan kembali para penegak hukum.

DPR memang tidak menutup mata bahwa saat ini sedang terjadi saling klaim pemilikan bukti antara Polisi dan KPK dalam kasus penahanan Bibit-Chandra. DPR tidak akan masuk ke areal itu, dan akan membiarkan pengadilan menjalankan tugasnya..Supremasi hukum harus dijunjung tinggi. Kita mendesak agar kasus ini segera disidangkan. Siapapun yang bersalah harus dihukum tanpa pandang bulu. Sehingga penegakan hukum dan rasa keadilan masyarakat terpenuhi

DPR harus mengambil langkah korektif agar tetap berada di garis terdepan penegakan hukum dan perjuangan rakyat. Wibawa KPK, Polri dan Kejaksaan Agung harus ditegakan. Kita tidak rela tiga institusi ini di obok-obok siapa pun. Kalau akibat perbuatan pejabat atau oknum menyebabkan tiga pilar lembaga penegakan hukum itu di nistakan, Oknum pejabat itu harus diberi ganjaran setimpal. Dipecat dengan tidak hormat dan dihukum seberat-beratnya. Tidak adil kalau ganjarannya hanya sekadar mundur dari jabatan.

disalin dari BAMBANG SOESATYO dengan judul yang sama.